Sekali lagi air mataku jatuh di atas kuburan yang masih merah itu. Sebuah kuburan yang dengan kejamnya mengurung ibuku di dalam perutnya. Dapat kulihat dengan jelas, batu nisan itu menggambarkan wajahnya yang bergurat penuh kesedihan. Pohon- pohon malu berbisik, rumput- rumput tak lagi bergoyang merayu, angin berhembus tersendat menyaksikan kesedihanku.
Dan untukmu yang telah pergi membawa perih
Semoga kedamaian bersemayam di jiwamu
Salamku dari hati ......
Air mataku semakin menganak sungai, terus berderai menemani kesedihanku yang seakan tak pernah habis. Kupeluk kuburan itu sekali lagi.
“ Ibu, selamat jalan...!”
***
Dulu, kehidupan keluargku sangat damai, kami sangat bahagia walau hidup sedehana. Ayah adalah sosok pria yang sangat aku kagumi. Suka bekerja keras, ramah dan cinta keluarga, itulah sifat ayah. Tapi setelah ayah dipecat dari pekerjaannya sebagai tukang pos, dia berubah drastis. Dia berubah menjadi seorang pemarah, sikap lembutnya berubah menjadi kasar.
Baru pertama kali aku melihat ayah menampar ibu dengan penuh amarah. Semua kebaikan yang ada pada diri ayah kini lenyap. Parahnya lagi, ayah kepincut wanita penggoda suami orang. Dan harus aku sebut wanita itu sebagai pelacur murahan. Kini ayah telah pergi meninggalkan keluarga. Dia pergi bersama wanita jalang itu. Aku benci ayah ...!
Setelah ayah pergi, ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Untuk mncukupi kebutuhan keluarga, ibu rela berkorban dan membuang jauh-jauh rasa malu menjadi seorang buruh cuci. Terkadang, kalau tidak ada cucican dari tetangga, kamipun tak mendapatkan makan.
Kesehatan ibu sedikit demi sedikit menurun. Ibu sangat kalut karena terus dikejar- kejar puluhan rentenir untuk menagih utang yang ditinggalkan ayah, padahal ibu tidak tahu menahu akan hal itu. Ibu hanya bisa mengusap dada dan meneteskan air mata saat itu. Kasihan ibu.
Adikku mepunyai penyakit yang sangat parah sehingga dia harus dioperasi. Rumah sakit tidak akan mengoperasi adikku apabila biayanya belum dibayar terlebih dahulu. Kami sudah mencoba untuk meminta bantuan, namun mereka tidak memberikan kami belas kasih. Adikku menahan sakit yang sangat dalam sampai akhirnya dia ......
Setelah ibu pergi, kini aku hidup bersama seorang kakak perempuan yang tengah sakit. Dia menanggung penderitaan yang sangat berat. Hidupnya hancur.
Ketika pulang dari pekerjaan sebagai penjaga toko, dia diperkosa oleh beberapa preman yang sudah terbiasa keluar masuk penjara. Mereka telah merenggut kehormatan kakakku. Sejak kejadian itu, kakak selalu merasa ketakutan, kekalutan terus bercokol kuat di benaknya. Setiap hari hanya tangis yang selalu menghiasi hidupnya.
Aku tak bisa berbuat apa- apa selain terus menghiburnya, sayang, hasinya nihil. Malahan kakak selalu melempariku dengan bantal apabila aku masuk ke kamarnya. Dia selalu berteriak- teriak sambil mengusirku bila aku mendekatinya. Yang lebih parah lagi, sudah beberapa kali aku mendapatkan kakak mencoba untuk bunuh diri. Kasihan sekali kakak.
Terkadang terlintas di benakku untuk menyesali hidup ini. Aku pikir Tuhan tidak membukakan pintu untukku. Dan aku tahu kalau pagi terlalu jauh dariku. Tapi aku buang pikiran itu jauh- jauh karena aku pernah mendengar dari hembusan angin jikalau Tuhan akan selalu dekat bersama kita, lebih dari yang kita inginkan.
Aku tak pernah lupa berdo’a pada Tuhan untuk kesehatan dan keselamatan kakakku. Aku yakin suatu hari nanti aku bisa melihat senyum manis kakakku, aku bisa merasakan kasih sayang kakakku seperti dulu aku masih kecil. Aku yakin itu.
Biarlah segala yang Tuhan berikan
Aku terima dengan kepasrahan
Biarpun aku hidup di laut derita
Menyiksaku tiada henti
Namun akan aku sebut nama-Nya
Bila nyawa jadi pertaruhan…….
Hari ini aku sangat lelah sekali. Panasnya matahari membakar kulitku. Untung saja gorengan yang aku dagangkan di terminal habis terjual sehingga aku putuskan untuk kembali ke rumah. Aku harus memasak nasi untuk makan nanti sore.
Namun, semangat hidup yang belum lama aku temukan harus lenyap dan hilang bersama harapan- harapan semu. Menghilang ke angkasa.
Kini sesuatu yang aku takutkan telah benar- benar terjadi.
Air mataku jatuh sekali lagi. Pohon- pohon malu berbisik, rumput- rumput tak lagi bergoyang merayu, angin berhembus tersendat menyaksikan kesedihanku. Izrail telah mencabut nyawaku dengan kasar, jantungku tak lagi berdetak, nafasku berhenti.
Daun- daun tua nan kering gugur membumi.
Di hadapanku, mayat kakak tergantung pada sebuah pohon tua yang tertunduk turut menyaksikan kesedihan yang terus mencekikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar